Tri Ambarwatie News Producer & Presenter TPI
Tapi tentu kita tidak selalu berhadapan dengan tema-tema eksotis. Tantangan sesungguhnya bagi para crew tv yang memproduksi feature justru terletak pada keahliannya menggarap tema-tema “garing”, yang sepintas secara visual tidak menarik. Jika kita membuat feature tentang Mbah Maridjan atau harimau dari Gunung Merapi yang sering turun dan jalan-jalan di pedesaan Srumbung, ketrampilan kita kadangkala “dikalahkan” eksotisme wilayah itu sendiri. Sementara seorang cameraman yang pas-pasan – yang asal bisa mengoperasikan white balance dengan benar, menempatkan filter secara tepat, dan tidak mlengse mempertahankan fokus lensanya – tetap akan menghasilkan visualisasi yang memikat: landscape gunung yang biru dan megah, lelehan lava di puncaknya, dan kabut yang lambat-laun menyelimuti seluruh tubuh kekar Merapi. Bagaimana dengan tema “ecek-ecek” seperti demam berdarah, sampah, atau budidaya bekicot?
Itu masalahnya. Feature pada prinsipnya harus interesan, apapun temanya. “Eksotisme” kadangkala merangsang kita berangkat ke lapangan tanpa rancangan di kepala maupun draft di tangan. Hal semacam ini bisa jadi tradisi jika dibiasakan berjalan begitu saja. Apalagi jika urusannya hanya deadline. Bukan redaksi yang ketat. Program itu rentan menjadi tayangan yang tidak mendalam, tidak kritis, tidak kreatif.
Mengolah kreativitas dalam proses penyusunan naskah tv ibarat kerja seorang arsitek. Mendalami materi pekerjaannya, merancang struktur, meramu bahan baku, meletakkan pondasi, menyusun bata demi bata. Secara ideal penulisan naskah tv menempuh beberapa fase “arsitektural” semacam itu. Materi dimatangkan melalui riset dan observasi, dirumuskan dalam sinopsis, diuji dan dikembangkan lagi ke dalam treatment, dengan begitu akan terwujud naskah yang kokoh.
Tumpukan kertas di masa pra-produksi jauh lebih baik dibanding pemborosan hari di masa shooting yang diakibatkan ketidaksiapan. Semakin intens pergulatan kita di fase pra-produksi dan pra-penulisan naskah, makin efektif dan efisien kerja kita di lapangan. Dengan pola kerja yang ideal kita tidak mudah ikut terhanyut kegaringan tema, tidak sok tahu, tidak menggurui, juga tidak terperosok membuat tayangan “eksotis” yang kehilangan arah.