Minggu, 16 Desember 2007

PRODUKSI PROGRAM FEATURE

Adam Herdanto Produser Feature & Documentary OrcaFilms
Tri Ambarwatie
News Producer & Presenter TPI

Crew televisi yang memperoleh assignment membuat tayangan feature biasanya menyambut tugas tersebut dengan antusias. Dibanding produksi paket berita televisi lainnya pembuatan feature lebih menantang kreativitas. Cameraman misalnya, akan lebih leluasa menampilkan skill yang dikuasainya. Apalagi jika tema feature yang disodorkan menyangkut “eksotisme", misalnya mengenai harimau jawa, ketoprak tobong, atau Mbah Maridjan.

Tapi tentu kita tidak selalu berhadapan dengan tema-tema eksotis. Tantangan sesungguhnya bagi para crew tv yang memproduksi feature justru terletak pada keahliannya menggarap tema-tema “garing”, yang sepintas secara visual tidak menarik. Jika kita membuat feature tentang Mbah Maridjan atau harimau dari Gunung Merapi yang sering turun dan jalan-jalan di pedesaan Srumbung, ketrampilan kita kadangkala “dikalahkan” eksotisme wilayah itu sendiri. Sementara seorang cameraman yang pas-pasan – yang asal bisa mengoperasikan white balance dengan benar, menempatkan filter secara tepat, dan tidak mlengse mempertahankan fokus lensanya – tetap akan menghasilkan visualisasi yang memikat: landscape gunung yang biru dan megah, lelehan lava di puncaknya, dan kabut yang lambat-laun menyelimuti seluruh tubuh kekar Merapi. Bagaimana dengan tema “ecek-ecek” seperti demam berdarah, sampah, atau budidaya bekicot?

Itu masalahnya. Feature pada prinsipnya harus interesan, apapun temanya. “Eksotisme” kadangkala merangsang kita berangkat ke lapangan tanpa rancangan di kepala maupun draft di tangan. Hal semacam ini bisa jadi tradisi jika dibiasakan berjalan begitu saja. Apalagi jika urusannya hanya deadline. Bukan redaksi yang ketat. Program itu rentan menjadi tayangan yang tidak mendalam, tidak kritis, tidak kreatif.

Tema seremeh apapun pada saat disodorkan sudah harus dihadapi dengan kreativitas. Hal ini tergantung sikap dasar kita, standar kita sendiri, state of the art yang kita miliki: sikap ini yang membedakan seorang kreator dengan operator. Membedakan seorang cameraman dengan operator camera. Dan penulis naskah haruslah seorang kreator, bukan tukang ketik.

Mengolah kreativitas dalam proses penyusunan naskah tv ibarat kerja seorang arsitek. Mendalami materi pekerjaannya, merancang struktur, meramu bahan baku, meletakkan pondasi, menyusun bata demi bata. Secara ideal penulisan naskah tv menempuh beberapa fase “arsitektural” semacam itu. Materi dimatangkan melalui riset dan observasi, dirumuskan dalam sinopsis, diuji dan dikembangkan lagi ke dalam treatment, dengan begitu akan terwujud naskah yang kokoh.

Tumpukan kertas di masa pra-produksi jauh lebih baik dibanding pemborosan hari di masa shooting yang diakibatkan ketidaksiapan. Semakin intens pergulatan kita di fase pra-produksi dan pra-penulisan naskah, makin efektif dan efisien kerja kita di lapangan. Dengan pola kerja yang ideal kita tidak mudah ikut terhanyut kegaringan tema, tidak sok tahu, tidak menggurui, juga tidak terperosok membuat tayangan “eksotis” yang kehilangan arah.

*) Cuplikan handout Diklat "Educational TV Program" di Sekolah tinggi Multi Media MMTC Yogyakarta 2006.

Sabtu, 15 Desember 2007

TV NEWS PRESENTER

Indiarto Priadi Produser Eksekutif & Presenter Senior Liputan 6 SCTV

Dalam penyelenggaraan program tv unsur komersial tidak bisa dilepaskan. Besarnya kapital yang diinvestasikan membuat pengelola televisi dan program berusaha mengembalikan modal itu dan memperoleh keuntungan. Unsur idealisme dan komersial itu terbungkus dalam kemasan bernama presenter. Itu sebabnya presenter-presenter yang cantik dan tampan mendominasi layar kaca.

Namun sebagian pengelola berita menyadari keindahan fisik bukan segalanya. Faktor lain yang memegang peranan dalam jangka panjang adalah inteligensia.

Inti dari sebuah program berita telavisi adalah kredibilitas atau kepercayaan. Kepercayaan itu terbentuk dalam proses yang berkesinambungan sejak persiapan hingga penayangannya. Sebagai ujung tombak penyampaian berita, presenter wajib mempertahankan kredibilitas itu.

Presenter yang berulangkali salah membaca dan meminta maaf membuat penonton tidak nyaman. Bukan tidak mungkin mereka segera pindah saluran. Tak heran jika timbul pertanyaan dalam hati mereka: jika sang penyiar melakukan kesalahan berulang, bagaimana saya bisa yakin informasi itu juga bukan sebuah kesalahan.

Ada dua jenis presenter berita tv: Newsreader dan Newscaster (anchor). Newsreader pembaca berita yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sampai taraf tertentu ia dapat mengubah materi yang akan dibaca; itu pun dengan persetujuan produser program. Sedangkan Newscaster atau Anchor tidak sekedar membaca naskah. Ia terlibat dalam pembuatannya, mengubah isi naskah serta memiliki kemampuan melakukan wawancara.

*) Cuplikan handout "TV News Presenter" TV News Workshop 2005.

PRESENTING SKILL

Pritt Timothy Presenter Radio Senior

Seringkali muncul di layar TV ulah beberapa presenter yang menyebalkan, susah nyambung. Misal, boros bicara, kosakata klise berhamburan, speed bicara laksana kilat tanpa jeda, artikuliasi belepotan, dataran tanpa intonasi, tone suara bernada tinggi atau sebaliknya, infleksi kalimat tidak pas dan lain-lain, akibatnya pesan menjadi bias. Belum lagi bahasa tubuh, gesture, dan ekspresinya yang dibuat-buat dan kelewat pede, ujung-ujungnya malah muncul kesan over acting.

Itulah contoh kegagalan seorang presenter saat menyajikan pesan kepada audience. Hal itu bisa diminimalisir kalau ia memahami sosok audiens-nya. Bagaimana semestinya tampil secara optimal, selalu berupaya agar pesannya dapat diterima dengan jelas dan bermakna.

Siapakah audiens yang dihadapi? Cakupannya meliputi unsus demografis dan psikografis audiens yang dituju. Presenter wajib memahami siapa yang akan diajak bicara. Komunikasi akan berjalan lancar jika terjalin “hubungan yang akrab”. Familiar. Keakraban bakal terwujud manakala adanya kesamaan pengalaman antar-keduanya.

Bagaimana performa yang ideal? Fisik hanya salah satu elemen. Perhatikan detail penampilan fisik kita, seperti padu-padan stelan yang dikenakan. Soal busana ini tidak asal rapi dan bagus melainkan harus disesuaikan tempat, waktu, dan keadaan. Body language, gesture, mimik, dan kontak mata juga merupakan bagian fisik yang harus difungsikan secara tepat.

Kemudian perhatikan etika. Sikap, perilaku, dan kemampuan beradaptasi. Satu hal yang sangat penting namun sering tidak diperhitungkan adalah kepekaan terhadap berbagai masalah dan sifat humble, menghargai perasaan orang lain. Dan seorang presenter yang baik akan selalu berusaha menyempurnakannya dengan selalu belajar untuk jujur, menguasai diri, dan disiplin. Tanpa itu penampilannya akan terasa palsu.

*) Cuplikan handout "Presenting Skill" TV News Workshop 2005.

WORKSHOP JURNALISTIK TV 2004 Summary

Tutor

Billy Soemawisastra Produser Eksekutif Liputan 6 SCTV

Ahmad Alhafiz News Producer & Presenter TV7

Indriati Yulistiani Produser Liputan 6 SCTV

Priambudhi Konsultan Media Indo-Pacific

Tuti Marlina News Presenter & Reporter ANTV

Adam Herdanto Produser MetaFeature

Bonaventura Dosen Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Triyanto Hapsoro Editor Axis Productions

Tommy RV. Lesar Soundman SCTV

Special Mention

Reportase Terbaik Fiona Tessalia & Nawan Prasetyo

Paket Berita Terbaik Thomas Andesta & V. Wahyu Wibowo

Naskah Berita Terbaik Adhi Kawidastra

Wawancara Terbaik Syaiful Bakhtiar


Reporter Terbaik Linda Patimasang

Cameraman Terbaik Fidelis Felix Hanung & Arief Eko Saputro

News Presenter Terbaik Nora Thomas

Outstanding Stand Up Thomas Andesta

Outstanding Program Director Arya Wardana, Arief Ermawan, & Albertus Enzy

Pasangan Presenter Terpadu Puja Ningtyas & Retno Untari

Jumat, 14 Desember 2007

WORKSHOP JURNALISTIK TV 2004 Review

Review oleh Ambara Muji Prakosa

Workshop Jurnalistik TV pada tanggal 4 - 8 Februari 2004 yang diselenggarakan atas kerjasama dengan Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta memperoleh sambutan hangat, khususnya di kalangan mahasiswa. Kelebihan workshop ini terletak pada keberadaan para tutor yang terdiri dari profesional di pertelevisian nasional, pengkategorian minat peserta dalam program spesialisasi (Reporter, Presenter, Cameraman, dan Program Director), serta intensitas simulasi yang mengkondisikan para peserta melakukan organisasi kerja wartawan tv sebagaimana terjadi setiap hari di kantor berita tv.

Rate untuk mengikuti workshop antara Rp 500.000 – Rp 750.000 disadari sejumlah peminat merupakan harga yang cukup pantas, mempertimbangkan kelebihan-kelebihan yang ditawarkan, hanya saja bagi sebagian besar peminat dibutuhkan waktu memadai untuk mempersiapkannya. Artinya, dibutuhkan rentang waktu lebih panjang dari masa publikasi hingga waktu pelaksanaan.

Di lembar evaluasi sebagian besar peserta menyatakan rasa puasnya. Catatan khusus diberikan untuk peralatan praktek yang kualitas satu dengan lainnya tidak seimbang, misalnya ada tripod yang tidak mampu berdiri simetris dan mic yang suaranya mlempem. Di sisi lain peserta juga mengungkapkan bahwa lima hari pelatihan ternyata tidak cukup, mereka membutuhkan kesempatan praktek lebih lama dan diskusi lebih intens dengan para tutor.

Workshop diikuti 45 peserta. Sejak hari pertama peserta dikondisikan untuk memahami peralatan produksi serta melakukan tryout – mempraktekkan ilmu yang diperoleh di kelas. Orientasi dan tryout berlanjut pada hari selanjutnya. Praktek-evaluasi, praktek-evaluasi, dan seterusnya. Latihan- latihan dengan pendampingan tutor dilakukan hingga hari ketiga.

Berdasarkan pengamatan materi yang tidak menarik bagi peserta adalah materi seperti Realitas Sosial dan Realitas Media. Hal ini barangkali disebabkan tema tersebut tidak dibutuhkan secara langsung oleh peserta. Sementara materi Etika Jurnalistik yang dipaparkan Priambudhi dan Adam Herdanto lebih menarik karena memberikan pengalaman baru bagi peserta.

Klimaks workshop terjadi pada hari keempat (7 Februari) ketika para peserta melaksanakan simulasi organisasi kerja wartawan tv, dari proses liputan hingga on air, tanpa pendampingan tutor. Tutor pada hari ke-empat ini menjadi Produser. Reporter dan Cameraman turun ke lapangan sejak pukul 9.00. Penugasan diberikan oleh Koordinator Liputan. Sekembalinya dari lapangan Cameraman melakukan time code dan Reporter menulis berita. Setelah itu editing. Proses liputan berlangsung hingga pukul 21.00. Dan sejak pukul 12.00 berlangsung program berita berdurasi 30 menit yang dibawakan para Presenter dengan arahan Program Director.

Satu hal yang paling menggembirakan adalah antusiasme sekaligus keseriusan peserta. Hal ini sudah tercermin dari Rapat Redaksi yang diagendakan setiap malam dengan melibatkan semua peserta, dipimpin seorang tutor yang didampingi Koordinator Liputan. Rapat Redaksi yang mestinya berlangsung tigapuluh menit molor sampai satu-setengah jam, saking intensnya mereka semua berdiskusi. Keesokannya sepulang liputan para reporter dan cameraman tidak henti-hentinya meminta tugas (assignment) tambahan dan mereka bergegas pergi lagi begitu Koordinator Liputan yang sudah kepayahan menganggukkan kepala. Hanya satu pihak yang complain : editor!


Suasana serupa terjadi pula di Studio dan Control Room. Para tutor yang bertindak sebagai Produser mengaplikasikan stressing yang lazim terjadi di stasiun tv. Memberlakukan real time untuk proses on air. Sungguh-sungguh live. Tidak ada kompromi waktu, tanpa toleransi. Jadwal on air harus ditepati, siap-tidak siap tetap harus siaran. Sehingga Program Director (PD) atau Presenter yang tidak melakukan persiapan memadai benar-benar akan keteteran. Atmosfer demikian sungguh-sungguh memompa antusiasme peserta.

Pada akhirnya proses editing berlangsung hingga pukul 03.00 dinihari. Akibat materi berita yang berlebih. Para reporter mengantre masuk ruang editing dengan sabar meskipun harus kleleran di hall. Dan untuk mengakomidir materi-materi berita yang menumpuk ditambahkan satu agenda siaran keesokan harinya – di hari terakhir yang mestinya hanya bermaterikan evaluasi final. Siaran terakhir ini menjadi istimewa karena berdurasi satu jam, presenternya tutor: Ahmad Alhafiz dan Tuti Marlina, PD dan cameraman-nya peserta.

Closing ceremony dimeriahkan penganugerahan sejumlah penghargaan kepada beberapa peserta terbaik. Rapat tutor untuk memutuskan siapa yang berhak memperoleh penghargaan cukup alot karena perbedaan kualitas kinerja di antara para peserta yang relatif tipis.

Selasa, 11 Desember 2007

Edward R. Murrow

We must not confuse dissent with disloyalty. We must remember always that accusation is not proof and that conviction depends upon evidence and due process of law. We will not walk in fear, one of another. We will not be drivenby fear into an age of unreason, if we dig deep in our history and our doctrine, and remember that we are not descended from fearful men – not from men who feared to write, to speak, to associate and to defend causes that were, for the moment, unpopular.